Fenomena Pemilu 2019
Nuansa panasnya politik dalam Pilpres 2019 berbeda dengan pilpres sebelumnya. Masing-masing kandidat dan para pendukungnya saling serang dan mencari kelemahan satu sama lain sejak hari pertama kampanye.
Fenomena-fenomena yang terjadi pada Pilpres 2019 antara lain mulai dari dugaan penganiayaan ulama oleh orang gila dan kriminalisasi ulama. Fenomena dugaan banjirnya tenaga kerja asing (TKA) China ke Indonesia semakin memperkeruh suasana.
Pilpres 2019 pun marak diwarnai fenomena politisasi agama.
Fenomena tersebut sesungguhnya bukan hal baru karena hal tersebut selalu terjadi dalam setiap pemilu. Pada pemilu 2019 menunjukkan adanya fenomena pembelahan dukungan berdasarkan identitas dan paham keagamaan di sejumlah wilayah. Hal itu dibuktikan dengan kemenangan mutlak Jokowi di wilayah-wilayah yang merupakan basis pemilih minoritas seperti di Bali, Sulawesi Utara, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Barat.
Sementara, Prabowo-Sandi juga menang telak di sejumlah wilayah yang merupakan basis pemilih Islam seperti di Aceh, Sumatra Barat dan Riau.
Fenomenan kampanye hitam lebih tampak dalam Pilpres 2019.
Kampanye hitam yang didasarkan pada kebohongan dan fitnah banyak bertebaran secara daring (online) pada tahun politik 2019. Biasanya kampanye hitam ini terkait isu SARA. Selain itu, juga kasus pribadi sang calon yang sengaja di-blow up untuk men-downgrade pasangan calon lawan.
Fenomena ”Strong Voters”
Fenomena ”Strong Voters” oleh para pakar politik diartikan sebagai daerah dimana masyarakatnya sudah memiliki preferensi pilihan politik yang tetap dan sangat sulit diubah oleh apapun.
Fenomena golput atau orang tidak memilih cenderung menurun.
Membandingkan pada pilpres 2004, golput tercatat sebesar 23,30 persen. Pada pilpres 2009, angka golput naik yaitu 27,45 persen, sedangkan pilpres 2014 angka golput mengalami kenaikan, yaitu di angka 30,42 persen. Sedangkan pada pilpres 2019, angka golput mengalami penurunan, yaitu sebesar 19,24 persen.
Fenomena kalah pamornya pemilu legislatif (DPR dan DPD) dengan pemilu presiden.
Percakapan publik hampir 70 persen didominasi percakapan pilpres, bukti lainnya adalah angka partisipasi publik yang berbeda antara pilpres dan pileg.